Oleh : Muhammad Teguh Pranada
Ekonomi Pembangunan – Universitas Sumatera
Utara
Saat
ini mungkin kita sedikit banyak melihat berita mengenai rencana penyatuan ASEAN
sebagai satu kawasan regional yang tidak lagi terhalang oleh batas-batas
administratif masing-masing negara anggota ASEAN. Ya, mulai 1 Januari 2015
ASEAN akan menjadi suatu komunitas kawasan regional bernama ASEAN Economic Community (AEC) yang
terintegrasi layaknya European Union (EU) atau yang kita dikenal dengan
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Namun hal ini seolah luput dari perhatian media
yang kebanyakan hanya menayangkan rekam jejak tokoh-tokoh elite politik
nasional yang notabene adalah petinggi dari partai-partai yang ada.
ASEAN
merupakan organisasi geo-politik yang terdiri atas kelompok negara-negara yang
bersatu dalam kawasan regional yang memiliki letak geografis berada di bagian
tenggara benua Asia. Cakupan wilayah ASEAN meliputi 4,46 juta km2 atau
setara dengan 3% total luas daratan di muka bumi, memiliki total populasi
mencapai 800 juta jiwa atau setara dengan 8,8% dari total populasi dunia. Luas
wilayah laut ASEAN jauh melebihi luas daratannya, bahkan mencapai tiga kali
lipat luas daratan ASEAN. Total GDP ASEAN tumbuh melebihi 1,8 triliun dollar
AS. Dengan potensi yang sangat luar biasa ini, ASEAN akan duduk sejajar dengan
negara-negara raksasa ekonomi dunia seperti Amerika, Jepang, China, Jerman,
Prancis, Italia, dan Inggris jika ASEAN bersatu dan berintegrasi sebagai
kawasan regional layaknya sebuah negara.
Namun,
untuk mewujudkan cita-cita tersebut bukanlah perkara mudah. Diperlukan proses
dan persiapan-persiapan yang matang untuk menyatukan beberapa negara dalam satu
entitas yang tanpa batas. Dengan dibentuknya AEC pada tahun 2015, batas antar
negara di kawasan ASEAN seolah akan hilang karena ASEAN menjadi kawasan free trade area yang pada hakikatnya
ASEAN bertransformasi menjadi suatu komunitas pasar bebas yang memungkinkan
terjadinya pertukaran barang, jasa, sumber daya manusia dan sebagainya terjadi
antar negara tanpa adanya prasyarat dan prosedur-prosedur yang berbelit-belit untuk
melakukan pertukaran melintas antar negara. Dengan demikian, akan memungkinkan
arus barang, jasa, modal dan investasi bergerak bebas melintasi batas antar
negara dengan leluasa tanpa adanya halangan yang berarti.
Di
ASEAN, Indonesia adalah negara dengan luas wilayah darat dan laut terbesar dan
dengan potensi sumber daya alam yang melimpah. Maka dari itu Indonesia akan
menjadi “lahan basah” bagi negara-negara lain untuk melakukan pertukaran di
berbagai bidang. Bagi Indonesia, pemberlakukan AEC bisa jadi merupakan suatu
peluang atau ancaman terhadap perekonomian dan pasarnya. Pasalnya dengan
pemberlakuan AEC setiap negara bebas melakukan pertukaran barang tanpa pajak
dan cukai dan bebas berpergian dari satu negara ke negara lain dalam kawasan
ASEAN tanpa harus menggunakan paspor dan visa. Secara otomatis hal ini akan
meningkatkan jumlah produk asing dan tenaga kerja asing yang masuk ke
Indonesia. Lalu apakah produk dan tenaga kerja Indonesia juga dapat berlintas
ke negara lain? Bisa saja, namun yang jadi pertanyaan apakah produk dan tenaga
kerja Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN lain? Terlebih dengan
negara yang pondasi perekonomian dan sumber daya manusianya sudah cukup kuat
seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura.
Hal
ini yang menjadi “momok” bagi masyarakat kita. Masuknya produk dan tenaga kerja
asing ke Indonesia akan mempersempit pasar dan lapangan pekerjaan yang tersedia
untuk warga pribumi. Pasar Indonesia yang luas akan menjadi sasaran empuk bagi
negara-negara lain untuk melakukan ekspansi ekonominya secara regional. Dengan
kondisi yang seperti sekarang, sangat klise bila dikatakan nantinya AEC akan
menjadi suattu kerjasama regional yang menguntungkan Indonesia terlebih dari
sisi perdangan dan transfer tenaga kerja antar negara.
Ancaman Terbesar Bagi
Indonesia di Pasar Bebas ASEAN Mendatang
Jika
kita melihat dari kondisi sekarang saat ini, AEC akan menjadi suatu ancaman
besar bagi kesinambungan perekonomian Indonesia. Dengan diberlakukannya AEC
barang, jasa, modal dan investasi akan bergerak bebas melintas antar negara.
Kondisi seperti ini yang menjadi kekhawatiran terbesar dari masyarakat kita.
Bebasnya segala bentuk kegiatan ekonomi antar negara akan mengancam seluruh
kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia. Banyaknya barang impor yang masuk akan
menyebabkan produsen-produsen Indonesia ketar-ketir dikarenakan ketakutan akan
tidak diminatinya produk lokal di pasar negeri sendiri.
Terlebih
di pasar negara lain, pengusaha Indonesia yang kebanyakan masih dalam taraf
usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) merasa sangat khawatir jika harus
bersaing dengan produk-produk impor luar negeri. Kekhawatiran mereka bukan
tanpa alasan. Pada dasarnya kualitas produk dalam negeri tidak jauh berbeda
dengan produk impor. Namun kondisi psikologis masyarakat kita yang beranggapan
bahwa produk impor lebih baik dan memiliki prestise yang tinggi membuat keadaan
menjadi sulit. Terlebih dengan diberlakukannya AEC akan banyak produk impor
yang masuk, produk lokal akan semakin tidak dilirik bahkan oleh bangsa sendiri.
Banjirnya produk impor di pasaran akan menyebabkan masyarakat tidak lagi
melirik produk lokal, terlebih jika harga produk impor lebih murah dari yang
lokal. Contoh bukti nyata dapat kita lihat saat ini. Kerjasama perdagangan
bebas yang dilakukan antara ASEAN dan China (ACFTA) menyebabnya pasar Indonesia
kebanjiran produk-produk impor dari China. Hal ini berdampak pada kurang
diminatinya produk lokal oleh konsumen dalam negeri yang lebih memilih memakain
produk China daripada produk dalam negeri karena harganya lebih murah dan
kualitasnya dianggap lebih baik.
Selain
ancaman akan banjirnya barang-barang impor yang akan merajai pasar Indonesia,
masyarakat juga merasa cemas akan dominasi asing menguasai lapangan-lapangan
pekerjaan. Bebasnya pintu keluar dan masuk antar negara di kawasan ASEAN
nantinya akan membuat transfer tenaga kerja antar negara ASEAN kian intensif.
Penduduk dari suatu negara dapat bekerja dan mencari pekerjaan di negara lain
tanpa adanya halangan yang berarti. Transfer tenaga kerja antar negara akan
semakin intensif terjadi terlebih jika ada permintaan dari suatu negara akan
tenaga-tenaga ahli. Hal ini akan semakin memungkinkan derasnya arus masuk
tenaga kerja ahli dari negara lain ke suatu negara dan mendegradasi
tenaga-tenaga ahli di negara tersebut.
Inilah
yang menjadi ketakutan nyata masyarakat kita. Dengan diberlakukannya AEC
masyarakat merasa cemas dengan kesinambungan hidupnya karena takut posisinya
terdegradasi dan digantikan oleh tenaga kerja impor yang lebih kompeten. Kita
memang juga sering mengirim tenaga-tenaga kerja ke luar negeri termasuk ASEAN.
Namun ironinya tenaga kerja yang kita kirim itu tenaga kerja unskill yang di
negara tujuan bekerja sebagai pekerja-pekerja kasar seperti buruh bangunan,
buruh pabrik, pembantu rumah tangga dan sebagainya. Bayangkan jika nantinya
yang masuk ke Indonesia itu merupakan tenaga-tenaga ahli yang akan mengisi
posisi-posisi strategis. Dampaknya apa? Tenaga kerja terdidik anak bangsa akan
termarjinalkan dan terlunta-lunta.
Harus
diakui bahwa kualitas sumber daya manusia kita masih sangat rendah. Berdasarkan
data UNDP, Indonesia berada di peringkat 6 di ASEAN dalam kategori Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Posisi Indonesia berada dibawah Malaysia, Thailand,
Brunei, Singapura bahkan Filiphina dalam peringkat IPM di ASEAN. Hal ini
menjadi suatu momok bagi masyarakat kita mengingat dengan AEC mereka diharuskan
untuk memiliki kualitas yang baik untuk bisa bersaing dengan tenaga kerja impor
yang nantinya akan masuk ke Indonesia. Jika tidak memiliki kualitas, kita tidak
mampu bersaing. Jika tidak mampu bersaing, maka habislah kita terdegradasi dan
termarjinalkan di negeri sendiri. Bayangkan nantinya akan banyak
bengkel-bengkel kendaraan bersertifikat milik Thailand, restoran-restoran milik
Vietnam, dan SPBU-SPBU Petronas dari Malaysia. Tentu kita akan ketar-ketir
menghadapi kondisi seperti ini dengan penuh tanda tanya. Dimana semua orang
Indonesia?
Hal-Hal yang Perlu
Dilakukan
Siap
tidak siap kita harus menghadapi tantangan dari AEC yang akan dimulai pada 2015
mendatang. Jika kita tidak cepat bergerak dan berbenah diri dalam menyambut
dibukanya kerjasama regional pasar bebas ASEAN, maka kita akan terjajah di
negeri sendiri. Konsekuensi dari diberlakukannya AEC adalah dibukanya keran
liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja
terampil, yang dapat bergerak secara bebas melintasi batas antar negara di
kawasan ASEAN sebagaimana yang tersirat dalam AEC Blueprint.
Ibarat
2 mata pisau, AEC dapat menjadi peluang atau ancaman bagi Indonesia. Kita akan
menjadi produsen yang banyak mengekspor namun juga akan menjadi sasaran empuk
importir. Apakah kita siap menghadapi AEC? Seberapa kuat pondasi kualitas kita
untuk bersaing dengan negara-negara lain? Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Banyak
pihak yang mendesak pemerintah untuk segera melakukan pesiapan menghadapi AEC
yang di Indonesia sendiri gaungnya begitu sayup terdengar. Langkah-langkah dan
kebijakan strategis pun sebaiknya dirancang dan diterapkan dengan segera,
terlebih dalam kebijakan politik dan perdagangan internasional. Waktu yang
tersisa bagi Indonesia untuk berbenah sangatlah singkat. Hanya satu tahun lagi
Indonesia berkesempatan untuk membenahi diri
sebelum keran liberalisme perdagangan regional ASEAN diberlalukan.
Beberapa langkah-langkah strategis yang dianggap perlu dilakukan pemerintah
untuk menghadapi AEC antara lain :
1. Menyosialisasi
dan menyebarluaskan berita-berita kepada masyarakat seputar AEC agar tidak
terjadi keterkejutan yang dialami masyarakat jika AEC diberlakukan
2. Peningkatan
kualitas dan daya saing sumber daya manusia serta perluasan lapangan pekerjaan
agar tenaga kerja kita bisa bersaing di bursa tenaga kerja ASEAN, Asia bahkan
dunia.
3. Pembatasan
kuota tenaga kerja asing yang bekerja di suatu lembaga, institusi atau
perusahaan untuk menjaga agar tenaga kerja lokal masih mendapat tempat bekerja
di negeri sendiri
4. Pemberdayaan
sektor UMKM dengan meningkatkan mutu dan kualitas produk hasil produksi dalam
negeri agar dapat bersaing dengan produk-produk impor
5. Memaksimalkan
peran sektor informal terutama yang non-migas sebagai pemain penting dalam
perekonomian
6. Kemudahan
akan penyediaan modal dan reformasi iklim investasi
7. Perbaikan
infrastruktur umum terutama yang berhubungan dengan akses hantar barang-barang
hasil produksi seperti jalan raya, jembatan, bandara, dan sebagainya
8. Reformasi
kelembagaan, pemerintahan dan moral masyarakat yang sadar dan taat hukum untuk
menghindari praktek-praktek ketidak beresan.
Peran aktif dan sinergi antara
pemerintah dan masyarakat harus terus dilakukan dalam menghadapi AEC di tahun
mendatang. AEC bukanlah sebuah ancaman jika kita memiliki persiapan-persiapan
yang matang untuk bertarung dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kita harus menjadikan
AEC sebagai peluang bagi Indonesia untuk berbicara lebih banyak dalam kancah
perekonomian dunia. AEC dapat menjadi salah satu jalan kita untuk menjadi
negara maju dan berdiri sejajar dengan Amerika, Jepang, China, Jerman, Inggris
dan sebagainya. Setahun bukanlah waktu yang panjang. Waktu yang sangat singkat
untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan berbenah diri secara optimal. Namun
pesimisme semata tidak akan berarti apapun. Kita harus bergerak! Apapun yang
bisa dilakukan harus kita lakukan untuk mempersiapkan negara kita secara
maksimal agar bisa bersaing dengan negara-negara asing.
Meski waktu sangat singkat, segala
sesuatunya harus terus dipersiapkan agar setidaknya kita tidak menjadi
bulan-bulanan serangan importir asing dan sasaran empuk tenaga kerja asing
untuk mencari nafkah. Menjadi petarung itu butuh keberanian dan nyali, bukan
seperti “anak manja” yang hanya memperhatikan dan menunggu makanan datang. Jika
usaha dan persiapan kita belum optimal untuk bertarung dan pada akhirnya kita
kalah, tidak masalah. Kekalahan adalah peringatan yang baik agar kita
mengintrospeksi dan mengevaluasi diri. Paling tidak kita sudah berusaha semampu
kita. Hasil hanyalah reward dari usaha yang kita lakukan. Jika hasil belum
baik, berarti usaha belum optimal. Sesimpel itu sebenarnya. Dan petarung yang
gagal itu lebih baik daripada anak manja yang hanya unggul di rumah namun
gampang merajuk.