Kamis, 08 Mei 2014

ASEAN Economic Comunity (AEC) 2015 : Siapkah Kita?


Oleh           : Muhammad Teguh Pranada
                     Ekonomi Pembangunan – Universitas Sumatera Utara


Saat ini mungkin kita sedikit banyak melihat berita mengenai rencana penyatuan ASEAN sebagai satu kawasan regional yang tidak lagi terhalang oleh batas-batas administratif masing-masing negara anggota ASEAN. Ya, mulai 1 Januari 2015 ASEAN akan menjadi suatu komunitas kawasan regional bernama ASEAN Economic Community (AEC) yang terintegrasi layaknya European Union (EU) atau yang kita dikenal dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Namun hal ini seolah luput dari perhatian media yang kebanyakan hanya menayangkan rekam jejak tokoh-tokoh elite politik nasional yang notabene adalah petinggi dari partai-partai yang ada. 
ASEAN merupakan organisasi geo-politik yang terdiri atas kelompok negara-negara yang bersatu dalam kawasan regional yang memiliki letak geografis berada di bagian tenggara benua Asia. Cakupan wilayah ASEAN meliputi 4,46 juta km2 atau setara dengan 3% total luas daratan di muka bumi, memiliki total populasi mencapai 800 juta jiwa atau setara dengan 8,8% dari total populasi dunia. Luas wilayah laut ASEAN jauh melebihi luas daratannya, bahkan mencapai tiga kali lipat luas daratan ASEAN. Total GDP ASEAN tumbuh melebihi 1,8 triliun dollar AS. Dengan potensi yang sangat luar biasa ini, ASEAN akan duduk sejajar dengan negara-negara raksasa ekonomi dunia seperti Amerika, Jepang, China, Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris jika ASEAN bersatu dan berintegrasi sebagai kawasan regional layaknya sebuah negara.
Namun, untuk mewujudkan cita-cita tersebut bukanlah perkara mudah. Diperlukan proses dan persiapan-persiapan yang matang untuk menyatukan beberapa negara dalam satu entitas yang tanpa batas. Dengan dibentuknya AEC pada tahun 2015, batas antar negara di kawasan ASEAN seolah akan hilang karena ASEAN menjadi kawasan free trade area yang pada hakikatnya ASEAN bertransformasi menjadi suatu komunitas pasar bebas yang memungkinkan terjadinya pertukaran barang, jasa, sumber daya manusia dan sebagainya terjadi antar negara tanpa adanya prasyarat dan prosedur-prosedur yang berbelit-belit untuk melakukan pertukaran melintas antar negara. Dengan demikian, akan memungkinkan arus barang, jasa, modal dan investasi bergerak bebas melintasi batas antar negara dengan leluasa tanpa adanya halangan yang berarti.
Di ASEAN, Indonesia adalah negara dengan luas wilayah darat dan laut terbesar dan dengan potensi sumber daya alam yang melimpah. Maka dari itu Indonesia akan menjadi “lahan basah” bagi negara-negara lain untuk melakukan pertukaran di berbagai bidang. Bagi Indonesia, pemberlakukan AEC bisa jadi merupakan suatu peluang atau ancaman terhadap perekonomian dan pasarnya. Pasalnya dengan pemberlakuan AEC setiap negara bebas melakukan pertukaran barang tanpa pajak dan cukai dan bebas berpergian dari satu negara ke negara lain dalam kawasan ASEAN tanpa harus menggunakan paspor dan visa. Secara otomatis hal ini akan meningkatkan jumlah produk asing dan tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Lalu apakah produk dan tenaga kerja Indonesia juga dapat berlintas ke negara lain? Bisa saja, namun yang jadi pertanyaan apakah produk dan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN lain? Terlebih dengan negara yang pondasi perekonomian dan sumber daya manusianya sudah cukup kuat seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura.
Hal ini yang menjadi “momok” bagi masyarakat kita. Masuknya produk dan tenaga kerja asing ke Indonesia akan mempersempit pasar dan lapangan pekerjaan yang tersedia untuk warga pribumi. Pasar Indonesia yang luas akan menjadi sasaran empuk bagi negara-negara lain untuk melakukan ekspansi ekonominya secara regional. Dengan kondisi yang seperti sekarang, sangat klise bila dikatakan nantinya AEC akan menjadi suattu kerjasama regional yang menguntungkan Indonesia terlebih dari sisi perdangan dan transfer tenaga kerja antar negara.

Ancaman Terbesar Bagi Indonesia di Pasar Bebas ASEAN Mendatang
Jika kita melihat dari kondisi sekarang saat ini, AEC akan menjadi suatu ancaman besar bagi kesinambungan perekonomian Indonesia. Dengan diberlakukannya AEC barang, jasa, modal dan investasi akan bergerak bebas melintas antar negara. Kondisi seperti ini yang menjadi kekhawatiran terbesar dari masyarakat kita. Bebasnya segala bentuk kegiatan ekonomi antar negara akan mengancam seluruh kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia. Banyaknya barang impor yang masuk akan menyebabkan produsen-produsen Indonesia ketar-ketir dikarenakan ketakutan akan tidak diminatinya produk lokal di pasar negeri sendiri.
Terlebih di pasar negara lain, pengusaha Indonesia yang kebanyakan masih dalam taraf usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) merasa sangat khawatir jika harus bersaing dengan produk-produk impor luar negeri. Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan. Pada dasarnya kualitas produk dalam negeri tidak jauh berbeda dengan produk impor. Namun kondisi psikologis masyarakat kita yang beranggapan bahwa produk impor lebih baik dan memiliki prestise yang tinggi membuat keadaan menjadi sulit. Terlebih dengan diberlakukannya AEC akan banyak produk impor yang masuk, produk lokal akan semakin tidak dilirik bahkan oleh bangsa sendiri. Banjirnya produk impor di pasaran akan menyebabkan masyarakat tidak lagi melirik produk lokal, terlebih jika harga produk impor lebih murah dari yang lokal. Contoh bukti nyata dapat kita lihat saat ini. Kerjasama perdagangan bebas yang dilakukan antara ASEAN dan China (ACFTA) menyebabnya pasar Indonesia kebanjiran produk-produk impor dari China. Hal ini berdampak pada kurang diminatinya produk lokal oleh konsumen dalam negeri yang lebih memilih memakain produk China daripada produk dalam negeri karena harganya lebih murah dan kualitasnya dianggap lebih baik.
Selain ancaman akan banjirnya barang-barang impor yang akan merajai pasar Indonesia, masyarakat juga merasa cemas akan dominasi asing menguasai lapangan-lapangan pekerjaan. Bebasnya pintu keluar dan masuk antar negara di kawasan ASEAN nantinya akan membuat transfer tenaga kerja antar negara ASEAN kian intensif. Penduduk dari suatu negara dapat bekerja dan mencari pekerjaan di negara lain tanpa adanya halangan yang berarti. Transfer tenaga kerja antar negara akan semakin intensif terjadi terlebih jika ada permintaan dari suatu negara akan tenaga-tenaga ahli. Hal ini akan semakin memungkinkan derasnya arus masuk tenaga kerja ahli dari negara lain ke suatu negara dan mendegradasi tenaga-tenaga ahli di negara tersebut.
Inilah yang menjadi ketakutan nyata masyarakat kita. Dengan diberlakukannya AEC masyarakat merasa cemas dengan kesinambungan hidupnya karena takut posisinya terdegradasi dan digantikan oleh tenaga kerja impor yang lebih kompeten. Kita memang juga sering mengirim tenaga-tenaga kerja ke luar negeri termasuk ASEAN. Namun ironinya tenaga kerja yang kita kirim itu tenaga kerja unskill yang di negara tujuan bekerja sebagai pekerja-pekerja kasar seperti buruh bangunan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dan sebagainya. Bayangkan jika nantinya yang masuk ke Indonesia itu merupakan tenaga-tenaga ahli yang akan mengisi posisi-posisi strategis. Dampaknya apa? Tenaga kerja terdidik anak bangsa akan termarjinalkan dan terlunta-lunta.
Harus diakui bahwa kualitas sumber daya manusia kita masih sangat rendah. Berdasarkan data UNDP, Indonesia berada di peringkat 6 di ASEAN dalam kategori Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Posisi Indonesia berada dibawah Malaysia, Thailand, Brunei, Singapura bahkan Filiphina dalam peringkat IPM di ASEAN. Hal ini menjadi suatu momok bagi masyarakat kita mengingat dengan AEC mereka diharuskan untuk memiliki kualitas yang baik untuk bisa bersaing dengan tenaga kerja impor yang nantinya akan masuk ke Indonesia. Jika tidak memiliki kualitas, kita tidak mampu bersaing. Jika tidak mampu bersaing, maka habislah kita terdegradasi dan termarjinalkan di negeri sendiri. Bayangkan nantinya akan banyak bengkel-bengkel kendaraan bersertifikat milik Thailand, restoran-restoran milik Vietnam, dan SPBU-SPBU Petronas dari Malaysia. Tentu kita akan ketar-ketir menghadapi kondisi seperti ini dengan penuh tanda tanya. Dimana semua orang Indonesia?

Hal-Hal yang Perlu Dilakukan
Siap tidak siap kita harus menghadapi tantangan dari AEC yang akan dimulai pada 2015 mendatang. Jika kita tidak cepat bergerak dan berbenah diri dalam menyambut dibukanya kerjasama regional pasar bebas ASEAN, maka kita akan terjajah di negeri sendiri. Konsekuensi dari diberlakukannya AEC adalah dibukanya keran liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil, yang dapat bergerak secara bebas melintasi batas antar negara di kawasan ASEAN sebagaimana yang tersirat dalam AEC Blueprint.
Ibarat 2 mata pisau, AEC dapat menjadi peluang atau ancaman bagi Indonesia. Kita akan menjadi produsen yang banyak mengekspor namun juga akan menjadi sasaran empuk importir. Apakah kita siap menghadapi AEC? Seberapa kuat pondasi kualitas kita untuk bersaing dengan negara-negara lain? Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Banyak pihak yang mendesak pemerintah untuk segera melakukan pesiapan menghadapi AEC yang di Indonesia sendiri gaungnya begitu sayup terdengar. Langkah-langkah dan kebijakan strategis pun sebaiknya dirancang dan diterapkan dengan segera, terlebih dalam kebijakan politik dan perdagangan internasional. Waktu yang tersisa bagi Indonesia untuk berbenah sangatlah singkat. Hanya satu tahun lagi Indonesia berkesempatan untuk membenahi diri  sebelum keran liberalisme perdagangan regional ASEAN diberlalukan. Beberapa langkah-langkah strategis yang dianggap perlu dilakukan pemerintah untuk menghadapi AEC antara lain :
1.      Menyosialisasi dan menyebarluaskan berita-berita kepada masyarakat seputar AEC agar tidak terjadi keterkejutan yang dialami masyarakat jika AEC diberlakukan
2.      Peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia serta perluasan lapangan pekerjaan agar tenaga kerja kita bisa bersaing di bursa tenaga kerja ASEAN, Asia bahkan dunia.
3.      Pembatasan kuota tenaga kerja asing yang bekerja di suatu lembaga, institusi atau perusahaan untuk menjaga agar tenaga kerja lokal masih mendapat tempat bekerja di negeri sendiri
4.      Pemberdayaan sektor UMKM dengan meningkatkan mutu dan kualitas produk hasil produksi dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk-produk impor
5.      Memaksimalkan peran sektor informal terutama yang non-migas sebagai pemain penting dalam perekonomian
6.      Kemudahan akan penyediaan modal dan reformasi iklim investasi
7.      Perbaikan infrastruktur umum terutama yang berhubungan dengan akses hantar barang-barang hasil produksi seperti jalan raya, jembatan, bandara, dan sebagainya
8.      Reformasi kelembagaan, pemerintahan dan moral masyarakat yang sadar dan taat hukum untuk menghindari praktek-praktek ketidak beresan.
Peran aktif dan sinergi antara pemerintah dan masyarakat harus terus dilakukan dalam menghadapi AEC di tahun mendatang. AEC bukanlah sebuah ancaman jika kita memiliki persiapan-persiapan yang matang untuk bertarung dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kita harus menjadikan AEC sebagai peluang bagi Indonesia untuk berbicara lebih banyak dalam kancah perekonomian dunia. AEC dapat menjadi salah satu jalan kita untuk menjadi negara maju dan berdiri sejajar dengan Amerika, Jepang, China, Jerman, Inggris dan sebagainya. Setahun bukanlah waktu yang panjang. Waktu yang sangat singkat untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan berbenah diri secara optimal. Namun pesimisme semata tidak akan berarti apapun. Kita harus bergerak! Apapun yang bisa dilakukan harus kita lakukan untuk mempersiapkan negara kita secara maksimal agar bisa bersaing dengan negara-negara asing.
Meski waktu sangat singkat, segala sesuatunya harus terus dipersiapkan agar setidaknya kita tidak menjadi bulan-bulanan serangan importir asing dan sasaran empuk tenaga kerja asing untuk mencari nafkah. Menjadi petarung itu butuh keberanian dan nyali, bukan seperti “anak manja” yang hanya memperhatikan dan menunggu makanan datang. Jika usaha dan persiapan kita belum optimal untuk bertarung dan pada akhirnya kita kalah, tidak masalah. Kekalahan adalah peringatan yang baik agar kita mengintrospeksi dan mengevaluasi diri. Paling tidak kita sudah berusaha semampu kita. Hasil hanyalah reward dari usaha yang kita lakukan. Jika hasil belum baik, berarti usaha belum optimal. Sesimpel itu sebenarnya. Dan petarung yang gagal itu lebih baik daripada anak manja yang hanya unggul di rumah namun gampang merajuk.


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar