Di Balik Mentari Pagi.
Pagi itu, seperti pagi-pagi yang sebelumnya, aku terbangun dari tempat pembaringan karena suara ibuku yang berteriak membangunkanku dan mengusik ketenangan tidurku. Padahal saat itu hari Minggu dan saat itu, waktu baru menunjukkan pukul 05.00, mentari pagi juga belum tampak muncul menyinari desa Sepiramai. Dan dengan terpaksa dan sedikit mengantuk, aku beranjak dari tempat pembaringanku menuju tempat pemandian desa yang jaraknya agak jauh dari rumahku. Walaupun di rumahku sudah terdapat kamar mandi, aku lebih memilih tempat pemndian desa karena mandi di sana asyik dan airnya menyegarkan.
Dengan langkah yang sedikit mengantuk juga, aku pun berjalan menyusuri jalan setapak di pinggiran pematang sawah yang sebentar lagi akan memasuki masa panen, menuju air mancur yang merupakan tempat pemandian yang terletak di kaki Gunung Tinggi. Air yang mengalir di tempat pemandian adalah air dari mata air di Gunung Tinggi, entah mengapa tidak pernah habis, padahal sudah beratus-ratus tahun sumber air tersebut mengalir dan dipergunakan oleh penduduk desa Sepiramai.
Di perjalanan menuju tempat pemandian, aku dikejutkan oleh suara yang tiba-tiba datang dan mengejutkanku.
“Hey, Franda. Mau kemana lo pagi-pagi gini?” Terdengar olehku suara itu dan dengan seketika menyadarkanku dari rasa mengantuk.
Dengan terkejut, aku mencari asal suara itu. Kebetulan juga hari masih agak gelap dan di sekitarku tidak ada satupun penduduk desa yang keluar. Aku semakin terkejut ketika dari belakang, bahuku di pegang oleh entah tangan siapa. Darahku serasa tersirap naik ke otak.
Ketika aku melihat ke belakang, aku lega. Ternyata itu temanku, Raka yang tanpa sengaja mengejutkanku.
“Ah, lo Ka! Ngagetin aja! Jantung gue hampir putus lo bikin! Hah… lo nih!!!” kataku pada Raka dengan agak sedikit marah.
“Iya-iya maaf. Emangnya lo pikir tadi tuh suara siapa? Hantu? ” Katanya dengan nada sedikit megejek.
“Bb..Bb..Bukan kog.” Jawabku dengan sedikit menahan malu.
“Iya-iya, udahlah gak usah di bahas. Lo mau kemana nih? “ Tanya Raka padaku yang sedang tertunduk malu.
“A… Ha... Apa? Aku? Oh, aku mau ke tempat pemandia desa. Lo sendiri, mau kemana pagi-pagi gini?
“Oh, aku mau ke pemandian desa juga nih. Bareng yuk?” Tawar Raka padaku.
“Oh, bisa-bisa!!” Jawabku mantap.
Kami pun berjalan bersama menuju tempat pemandian desa. Ketika beberapa puluh meter lagi sampai di tempat pemandian desa, kami melihat Zandi, Panji, dan Budi. Mereka ber-tiga sedang asyik menikmati dinginnya air mancur di tempat pemandian.
Aku pun berteriak memanggil mereka : “Hey, Zandi, Panji, Budi, enak banget kalian mandi ya? Kami berdua boleh ikutan gak?”
Mereka bingung mencari asal suara kami karena kebetulan hari masih agak gelap. Ketika Panji melihat ke samping kanan, dia melihat kami ber-dua dan dia berteriak pula.
“Hey, lihat! Itu Raka sama Franda! Ngapain lo ber-dua? Mau mandi juga?” Teriak Panji.
“Iya lah! Jadi ngapain kami ke sini kalau gak mau mandi?” Kataku meyakinkan.
Kamipun berlari menuju tempat pemandian. Ketika akan menginjak lantai tempat pemandian yang kebetulan terbuat dari keramik dan agak licin, aku dan terpeleset dan jatuh tersungkur. Dengan senangnya, Zandi, Panji dan Budi tertawa terbahak-bahak.
“Ha.. Ha.. Ha.. ! Rasain lo! Emang enak jatuh?” Kata Zandi padaku dengan nada mengejek.
Aku mencoba berdiri, tapi apa daya, kaki kananku keseleo dan tidak bisa digerakkan. Budi mendekatiku dan mencoba menolong.
“Lo gak apa-apa Nda?”
“Enggak-enggak, cuma kaki kananku agak keseleo. Tapi gak apa-apa lah, ntar juga sembuh!” Kataku yakin.
Dan kamipun mandi dengan senangnya. Menikmati air yang dingin sangat penuh sensasi.
Setelah selesai mandi, kami ber-lima bergegas pulang ke rumah masing-masing. Dengan langkah agak terbata-bata dan pakaian yang masih basah, aku berjalan dari tempat pemandian menuju rumahku.
Sampai di depan pintu rumahku, aku melihat ke ufuk timur dan matahari sudah mulai muncul dari balik Gunung Tinggi. Aku sedikit melamun menikmati indahnya alam desa Sepiramai. Kicau burung terdengar bagai alunan music jazz di telingaku. Mendamaikan hati dan jiwaku. Tapi tiba-tiba aku terkejut karena pundakku ditepuk oleh seseorang.
“Franda. Udah sana masuk? Baju kamu udah basah lho. Ntar kamu sakit?”
Sejenak lamunanku terhenti dan kulihat ternyata Ibuku telah berada di belakangku.
“Oh.. Ibu? Iya bu. Nih Nda mau kekamar.” Kataku.
Dengan langkah terbata-bata karena kaki yang masih sakit, aku berjalan menuju kamar berniat mengganti pakaian. Mungkin Ibuku heran mengapa aku berjalan terbata-bata.
“Kakimu kenapa Nda?” Tanya Ibuku heran.
“Oh.. Gak apa-apa kog bu. Tadi di tempat pemandian Nda terpeleset. Ntar juga sembuh.”
“Gak apa-apa? Gak bisa! Kalau dibiarin bisa bahaya Nda! Nanti siang, kita ke dokter Herman teman Ayah. Kamu nih, anggap sepele aja sama penyakit!” Kata ibu marah.
Aku hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan ibu yang masih memperhatikan kakiku.
Setelah beranjak siang, ibuku langsung memanggilku yang pada saat itu sedang memainkan gitar dan bernyanyi-nyanyi kecil.
“Franda! Cepat ganti pakaian! Nanti tempat praktek dokter Herman keburu ramai!”
“Iya-iya bu.” Jawabku santai.
Aku pun mengganti pakaian. Setelah itu, bersama ibuku aku pergi ke tempat praktek dokter Herman.
Setelah sampai di tempat praktek dokter Herman, aku dan ibuku langsung masuk ke ruangan praktek dokter Herman. Beruntung pada saat itu pasien dokter Herman sedang tidak ada. Jadi kami langsung saja masuk.
“Selamat siang dok?” Sapa ibuku pada dokter Herman.
“Oh.. Selamat siang bu Ayu. Silahkan duduk. Ada yang bisa saya bantu?”
Ibuku duduk di kursi yang telah disediakan. Sementara aku langsung berbaring di tempat tidur pasien dokter Herman sambil mendengarkan musik dari MP3 player ku.
“Begini dok, tadi Franda jatuh dan kakinya keseleo. Tolong diperiksa dok. Saya takut ada apa-apa.”
Dokter mendekatiku dan memeriksa kakiku, aku hanya tertidur santai. Setelah beberapa saat diperiksa, dokterpun membalut kakiku dengan perban.
“Oh.. Tidak apa-apa. Hanya ada salah satu uratnya yang tergeser. Sebaiknya saya kasih resep dan nanti di tebus di apotik ya bu?” Kata dokter Herman lembut kepada ibuku.
“Baik dok. Berapa biaya periksanya dok?” Tanya ibuku.
“Oh... Sudahlah, tidak usah. Kan cuma periksa dan membalut kaki? Lagi pula kan Haryanto sudah lama bersahabat dengan saya? Masak dengan sahabat sendiri perhitungan? Tebus saja obatnya di apotik.”
Ibuku hanya tersenyum lalu berkata :”Terima kasih ya dok?”
Dokter Herman tersenyum dan mengangguk.
Kami beranjak dari tempat praktek dokter Herman menuju apotik. Setelah obat didapat dan dibayar di apotik, aku dan ibuku langsung pulang ke rumah.
“Makanya lain kali hati-hati. Di tempat pemandian licin. Kamu sich, ada kamar mandi di rumah kamu malah pergi jauh-jauh ke sana?”
“Iya-iya.” Kataku dan akupun berlalu ke kamarku dan meninggalkan ibu yang masih memperhatikanku.
Di kamar, aku langsung menyalakan televisi dan mencari siaran humor. Tidak berapa lama aku menonton televisi, ada seseorang datang.
“Assalamu’alaikum.”
Ibuku yang sedang berada di ruang tamu, melihat ke luar dan menjawab salam dari orang itu yang ternyata Panji.
“Wa’alaikum Salam. Oh Panji. Tuh Franda ada di kamar. Tapi kakinya sedang sakit. Katanya jatuh di tempat pemandian ya?”
“Iya bu, tadi Franda jatuh di tempat pemandian gara-gara balap lari sama Raka.”
“Ohh… Ya sudah. Masuk sana. Frandanya ada di kamar tuch. Palingan lagi nonton TV.”
Panji berjalan menuju kamarku dan langsung memasuki kamarku.
“Hey.. Masih sakit kaki lo?”
“Iya nich, gara-gara tadi di tempat pemandian tadi.”
Panji mengglelengkan kepalanya dan berkata : “Makanya, lain kali hati-hati!” Lalu dia memukul kakiku yang sakit secara pelan. Dengan spontan aku berteriak kecil.
“Aduh… kaki gue! Sakit tau!” Kataku dengan nada sedikit marah.
“Maaf-maaf Bos. Sengaja. Ha.. ha.. ha..” Diapun tertawa dan aku hanya diam saja menonton acara humor yang menurutku kurang lucu.
Tidak berapa lama setelah Panji datang, Budi pun data ke rumahku dengan niat mengajakku bermain juga.
“Assalamu’alaikum!” Teriak Budi dari luar rumahku.
“Wa’alaikum salam. Masuk aja Bud, gue di kamar nih” Jawabku menyambut salam Budi.
Budipun berjalan menyusuri ruang tamu dan langsung memasuki kamarku.
“Woi!!! Ngapain lo?”
“Gak da, nonton tv aja.”
“Kaki lo yang tadi pagi belum sembuh emangnya? Kog masih di perban?”
“Ya belumlah bego’! Baru tadi di obatin, dah lo bilang sembuh? Salah otak-lo nich!”
“Sorry bro… Just kidding………
“Kidding-kidding! Muka’ lo tuch kayak dinding!”
Budi dan Panji pun tertawa melihat kemarahanku. Aku juga ikut tertawa karena aku memang tidak benar-benar marah kepada Budi.
Tak berapa lama kemuadian ayah pun pulang dan langsung menuju dapur. Tiba-tiba ayah memanggilku.
“Nda! Ke sini sebentar!”
Dengan agak terkejut, spontan menjawab.
“I..iya yah. Sebentar!”
Aku pun bergegas menemui ayahku di dapur dan meninggalkan Panji dan Budi yang asyik menonton televisi.
“Ada apa yah? Kog kayaknya penting banget?” tanyaku pada ayahku yang sedang meminum segelas teh buatan ibuku.
“Kenapa tuch kaki? Jatuh di mana?”
“Di tempat pemandian tadi pagi yah. Nda lari menuju tempat pemandian sampe’ lupa kalau temapt pemandian agak licin.”
“Makanya lain kali hati-hati. Udah tau tempat pemandian lantainya agak licin, masih aja lari-lari di situ.”
“Iya yah. Lain kali Nda akan lebih hati-hati.” Kataku dan langsung berlalu menuju kamar, meninggalkan ayah yang sedang meminum teh.
“Kenapa Nda? Lo dimarahin ya gara-gara kaki lo tarkilir?” kata Panji yang langsung menyambutku dengan pertanyaan itu ketika aku sampai di kamar.
“Kagak! Ayah gue cuma Tanya kenapa nich kaki, trus di nasehatin. Udah gitu aja.” Jawabku santai.
“Makanya! Lo laen kali pakek hati. Dah tau tuch tempat licin, lo malah lari-lari di situ? Kata Budi yang ikut mengomentari kakiku.
“Iya Boss! Ente nich! Kayak ayah gue ente! Ha..Ha..” jawabku dengan sedikit bercanda pada Budi.
Budi-pun hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
Tidak merapa lama kami bertiga tertidur di kamarku yang lumayan besar. Tak terasa sore-pun tiba. Kami bertiga terbangun karena suara ibuku lagi yang membangunkan. Panji dan Budi-pun berpamitan pulang.
“Kami pulang dulu ya Nda. Besok kami ke sini lagi. Mancing kita di sungai dekat sawah tuch. Oke nggak? Zandi sama Raka ada juga.”
“Okey..Okey. Tapi liat kaki gue dulu. Kalau kaki gue udah agak enakan gue ikut. Tapi kalau belum?? Ya liat ntar aja dech!” kataku yakin tidak yakin.
“Okey..Okey. Sampai jumpa besok ya. Assalamu’alaikum.” Jawab mereka.
“Wa’alaikum Salam.” Jawabku
Hari-pun berganti malam dan malam kembali berganti pagi lagi. Seperti biasa, aku terbangun dari tempat pembaringan karena suara ibuku yang membangunkan. Tapi pagi ini ada yang berbeda. Aku tidak diizinkan mandi di tempat pemandian oleh ayahku karena kaiku masih keseleo. Jadi pagi ini aku terpaksa mandi di kamar mandi rumahku.
Siang pun bergulir. Budi dan Panji datang ke rumahku lagi untuk mengajakku memancing. Kebetulan aku sedang berada di teras rumah sedang memainkan gitar.
“Nda, jadi ikut gak lo? Zandi sama Raka udah nunggu di suangai tuch! Kata Panji padaku dengan sedikit ragu.
“Jadi..jadi. Tenang aja lo. Kaki gue udah agak enakkan kog. Tapi gue nge-liatin aja ya?”
“Okey..Okey.” jawab Panji dan Budi.
Kami pun berjalan pergi menuju ke sungai. Sesampainya di sungai, kami bertemu dengan Zandi dan Raka yang sedang asyik menunggu umpan di makan oleh ikan.
“Hey, gimana umpan tuch? Dah habis?” Tanyaku pada mereka.
“Belom lagh! Baru aja di lempar udah mau habis?
“Owwh.. Baru dilempar.? Ya udah, lanjutin lagh……
“Lo gak mancing Nda?” tanya Zandi padaku.
“Kagak dulu dech. Kaki gue masih sakit.”
“Ohh,, oke-oke!” Jawab Zandi dengan nada sedikit mengejek.
Mereka pun melanjutkan memancing. Tiba-tiba, Panji berteriak keras sekali.
“Hey,, Aku dapat!
Aku dan yang lainnya pun tersentak. Seketika itu juga entah kenapa Panji jatuh ke dalam sungai yang asyik airnya.
“Hey,, hey!! Loe kalau mau mandi ngajak-gajak dong! Haha!” teriak Raka dan langsung melompat ke dalam sungai dan meninggalkan joran pancingnya.
Semua teman yang lain pun ikut melompat. Tak kusadari, kakiku telah di pegang oleh Zandi yang langsung menarikku ke dalam sungai.
“Wahahahaha!! Sini ikutan mandi! Segar kan?? Haha!” Ejeknya padaku.
“Sialan! Kaki gue masih sakit Zan! Adduuuhh!!”
“Wahh! Maaf-maaf, gue lupa! Udah, nikmati aje airnya!!”
“Ya ude lah! Dah keburu basah pun!”
Aku pun ikut bermain air bersama dengan mereka. Tak terasa, hari sudah menjelang sore. Kami semua haris kembali ke rumah. Tapi, Panji agak mengkhawatirkan keadaanku yang basah kuyup.
“Nda, loe gak apa-apa kan??”
“Kagak lah! Senang pun gue!” dengan nada sedikit mengigil karena kedinginan.
“Oke-oke!” Jawab Panji mantap.
Kami pun berjalan bersama menuju rumah masing-masing. Meskipun berjalan dengan kaki yang terbata-bata, aku sangat senang!.
_END_